40 tahun lalu, gajah asal tanah Sumatra jumlahnya ditaksir mencapai 2.800-4.800 individu. Namun, masa-masa itu tinggal cerita. Survei 2017 memperkirakan populasi gajah menurun drastis menjadi 1.694-2.038 individu[1]. Sementara di Provinsi Sumatra Barat, gajah sumatra dinyatakan punah secara lokal pada 2008[2].

Elephas maximus sumatranus merupakan mamalia darat terbesar di Indonesia yang dapat hidup enam puluh hingga tujuh puluh tahun. Gajah dikenal sebagai hewan yang cerdas. Bahkan kecerdasannya dianggap setara dengan lumba-lumba dan simpanse.

Berat: 3-5 ton.
Tinggi maksimal: 3,2 meter.

Mencuri Dengar Kabar Hutan Sumatra

Gajah tinggal di hutan dataran rendah yang lembab dan datar. Miris, sepanjang 1990-2010 deforestasi di Sumatra menyentuh angka 7,5 juta hektare[3].

Kabarnya, di tengah gelombang deforestasi, gajah sumatra masih memiliki area yang diperuntukan khusus untuk menjaga kelestariannya.

Persebaran habitat Gajah sumatra

Zona peruntukan konservasi

Konsesi perkebunan sawit

Selamat datang di
Taman Nasional Tesso Nilo!

Sebuah kawasan konservasi khususnya bagi gajah sumatra yang terletak di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Dikarenakan memiliki wilayah jelajah yang luas, sekitar 25 kilometer dari batas Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) masih merupakan habitat gajah sumatra (Williams dkk., 2020).

Persebaran habitat Gajah sumatra

Zona peruntukan konservasi

Konsesi perkebunan sawit

Kawasan kantung gajah

Habitat Gajah yang Meriah

Namun, habitat gajah di sekitar TNTN tersebut dilingkupi oleh setidaknya delapan perusahaan dan berbagai pemanfaatan hutan lainnya. Komoditas yang menguasai wilayah ini dimiliki oleh pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) dan perusahaan sawit. Luasan yang signifikan juga diperuntukkan kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial.

Lalu, bagaimana dengan area di dalam Taman Nasional itu sendiri?

Keterangan: Gambar diadaptasi dari Peta Indikatif Arahan Pemanfaatan Hutan Tahun 2021 oleh KLHK.

Zona peruntukan konservasi

Kawasan Hutan produksi terbatas

Kawasan hutan produksi

Areal peningkatan akses masyarakat melalui HD/HKm/HTR

Konsesi perkebunan sawit

Persebaran habitat gajah

Kawasan kantung gajah

Geser

Tutupan Lahan Kian Hilang

Namun, pohon-pohon di TNTN berangsur lenyap. Deforestasi terjadi secara terang-terangan di kawasan yang dilindungi ini. Hingga sekarang, kawasan hutan yang tersisa hanya 16,8 persen saja (2022).

2019

2018

2017

2017 ...2001

2000

Oh, Ternyata Sawit Pelakunya!

Rupanya, sebagian besar hutan alam digantikan oleh perkebunan kelapa sawit. Setidaknya lebih kurang 50 persen atau 40.469 hektare lahan di TNTN telah disulap menjadi perkebunan kelapa sawit ilegal[5].

Hutan Alam

Perkebunan

Lahan Kosong

Perhutanan sosial

Pilih Foto

Bagaimana Sawit
Memengaruhi Habitat?

Penanaman sawit di dalam Taman Nasional Tesso Nilo dilakukan masyarakat jauh sebelum kawasan ini dikukuhkan sebagai kawasan konservasi.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, menekankan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan zona inti taman nasional. Perubahan yang dimaksud meliputi tindakan mengurangi, menghilangkan fungsi dan luas zona inti taman nasional, serta menambah jenis tumbuhan dan satwa yang tidak asli.

Perkebunan sawit masyarakat juga berada pada wilayah yang masuk ke dalam area peruntukan bagi Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Hutan Tanaman Rakyat. Kegiatan ini pun merupakan hal yang melanggar hukum karena budidaya sawit tidak diperbolehkan di dalam area tersebut, sebagaimana ditekankan dalam Pasal 56 Ayat (5) Peraturan Menteri LHK Nomor P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial.

Sumber Pakan

Sumber Air

Wilayah Jelajah

Gajah memiliki wilayah jelajah yang sangat luas. Dalam sehari, mereka dapat berjalan sejauh dua puluh kilometer untuk mencari makan. Jika melewati suatu area tertentu, maka gajah akan kembali melewatinya beberapa tahun kemudian. Ketika kembali ke area yang sama itulah dapat terjadi perubahan kondisi habitat, dari yang mulanya hutan menjadi perkebunan. Menurut Wanda, perkebunan sawit tidak mengubah wilayah jelajah gajah. Gajah bisa melewati kebun sawit, tapi justru itu yang mengakibatkan konflik dengan manusia. Mereka akan dituding sebagai hama perusak kebun. Padahal, ia menjelaskan, sawit sebenarnya bukan makanan pokoknya. Ketika tidak menemukan sumber pakan lain, pelepah sawit akan menjadi pilihan bagi gajah.

“Pertama, begini logikanya. Bukan gajah yang masuk perkebunan sawit, tapi manusia yang memasuki habitat gajah. Di situ konteksnya. Jadi jangan dibalik-balik,” tegas Wanda.
Ditanya mengenai pengaruh perkebunan sawit terhadap ketersediaan sumber air, Wanda menjawab bahwa sawit pasti berpengaruh terhadap ketersediaan sumber air bagi gajah. Sawit merupakan jenis tanaman yang rakus air dan unsur hara dibandingkan dengan tanaman keras atau perkebunan lainnya[7].

Sekurang-kurangnya, seribu liter air dibutuhkan dalam satu hektare kebun kelapa sawit[8]. Sementara, seekor gajah membutuhkan sekitar dua ratus liter air dalam sehari untuk minum. Terlebih, air bagi gajah juga dibutuhkan untuk mandi atau berkubang. Dalam penelitian lain, penanaman kelapa sawit berpengaruh terhadap keseimbangan air hutan, dengan pengurangan debit air sekitar 30-40 persen[9].
Sebagai megafauna, dalam sehari seekor gajah membutuhkan hingga 150 kilogram makanan. Berdasarkan wawancara Garda Animalia dengan peneliti di Pusat Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wanda Kuswanda, perkebunan sawit yang menjarah habitat gajah jelas mengurangi sumber makanan gajah. Sekitar 60-70 persen makanan gajah merupakan jenis tumbuhan bawah, seperti semak, herba, dan rerumputan. Pertumbuhan dan regenerasi tumbuhan bawah akan terhambat, sebab perkebunan sawit memiliki tajuk yang lebat dan rapat menyebabkan rendahnya intensitas cahaya matahari yang masuk.

Dalam penelitian Yoza dan Sari (2008), ketersediaan pakan dalam satu hektar kawasan di Taman Nasional Tesso Nilo tidak mencukupi untuk satu ekor gajah. Inilah salah satu alasan mengapa gajah akhirnya mencari lokasi baru dan memakan tanaman masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pakan[6].

Menilik Titik Kasus Gajah Sumatra

Kami merangkum 185 kasus konflik gajah dari data yang dihimpun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan berbagai berita di media daring. Kasus konflik non-kematian merujuk pada definisi konflik satwa dan manusia yang tercantum pada Permenhut P.48 Tahun 2008 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik Antara Manusia dan Satwa Liar. Dalam peraturan disebutkan, bahwa konflik adalah segala bentuk interaksi negatif secara langsung maupun tidak langsung antara manusia dan satwa liar.

Peta Titik Konflik

Konflik kematian

Konflik non-kematian

9

Jumlah Konflik

Keterangan:
- Data kematian gajah sejak 2010
- Data non-kematian gajah sejak 2016
- Titik kasus konflik gajah berdasarkan lokasi desa atau konsesi, dan tidak menunjukkan secara persis titik koordinat
- Sumber citra satelit dari Google Earth Pro

Peta Deforestasi

1992

Data tidak tersedia

1999

Data tidak tersedia

2004

2921 ha

2009

5290 ha

2010

15612 ha

2011

15075 ha

2012

16617 ha

2013

12289 ha

2014

9685 ha

2015

4345 ha

2016

9753 ha

2017

1675 ha

2018

1482 ha

2019

1308 ha

2020

711 ha

2021

1805 ha

Keterangan:
- Data kematian gajah sejak 2010
- Data non-kematian gajah sejak 2016
- Titik kasus konflik gajah berdasarkan lokasi desa atau konsesi, tidak menunjukkan secara persis titik koordinat
- Sumber citra satelit dari Google Earth Pro

Lalu, selanjutnya apa?

Kenyataan pahit mengenai kondisi habitat dan gajah sumatra sudah seharusnya mendapat perhatian khusus, jika memang upaya konservasi ingin dilakoni dengan serius. Negara memiliki andil besar dalam hal ini.

Dalam sudut pandang pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam, negara berperan menguasai dan mendapatkan manfaat sebesar-besarnya untuk kemudian ditujukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran masyarakat (social prosperity). Namun, yang perlu digarisbawahi adalah, bersamaan dengan itu negara juga mempunyai tanggung jawab secara hukum terhadap semua hal yang menjadi obyek penguasaannya. Dijelaskan lebih lanjut, bahwa dimensi tanggung jawab negara atau pemerintah meliputi beberapa hal, antara lain memikul atas kesalahan yang dilakukan, dengan memberikan ganti kerugian, atau dengan jalan melakukan tindakan pemulihan keadaan seperti semula[11].

Dalam hal ini, maka keutuhan hutan, termasuk kelestarian flora dan faunanya sebagai salah satu sumber daya yang dikuasai negara otomatis menjadi kewajiban negara untuk menjaganya. Pelepasan hutan dan pemberian izin kawasan yang mengesampingkan habitat gajah di area konservasi menunjukkan lemahnya kehadiran negara dalam menjaga keutuhan sumber daya alam tersebut.

Tidak menutup mata, tentu berbagai upaya telah coba dilakukan untuk memperbaiki–atau paling tidak, tidak memperburuk keadaan–taman nasional ini sebagai habitat gajah sumatra. Misalnya, dibentuknya Elephant Flying Squad untuk mencegah konflik satwa, atau yang terbaru, dikeluarkannya Surat Edaran pada 20 Januari 2022 lalu tentang larangan menanam sawit di Taman Nasional Tesso Nilo.

Keduanya merupakan upaya yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Tesso Nilo–bekerja sama dengan pihak lain–selaku pemegang otoritas taman nasional. Dihubungi melalui Humas serta WhatsApp pribadi, Kepala Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Heru Sutmantoro, tak kunjung memberikan kepastian ketika kami mengajukan wawancara dan permohonan permintaan data hingga laporan ini diterbitkan.

Selain kehadiran negara, perusahaan yang menguasai habitat gajah juga perlu mendapat sorotan. Karena faktanya, kematian juga terjadi di area konsesi, dan itu terjadi berulang kali. Perusahaan yang abai terhadap kasus kematian satwa dilindungi di wilayah konsesinya sesungguhnya telah melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Pada Pasal 9 ayat (1) tertulis, “Setiap pemegang hak atas tanah dan hak pengusahaan di perairan dalam wilayah sistem penyangga kehidupan wajib menjaga kelangsungan fungsi perlindungan wilayah tersebut.”

Selain itu, dalam penyelenggaraan usahanya, perusahaan juga harus berpedoman pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Bahwa disebutkan dalam pasal 54 ayat (1), setiap orang atau badan usaha yang melakukan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan, wajib melakukan pemulihan fungsi lingkungan. Dijelaskan lebih lanjut pada ayat (2) tahapan-tahapan pemulihan fungsi lingkungan hidup yang dimaksud[12]

Melihat dari sisi masyarakat, mereka yang terlampau bermukim di area taman nasional membutuhkan solusi. Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 memberikan beberapa poin skema penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan melalui jalur non litigasi, yaitu mengeluarkan bidang tanah dalam kawasan hutan melalui perubahan batas kawasan, tukar menukar kawasan hutan, memberikan akses pengelolaan hutan melalui program perhutanan sosial, dan melakukan resettlement. Namun, Perpres ini belum mengakomodir perkebunan sawit yang masuk dalam kawasan hutan[13].

Tak kalah penting, masyarakat perlu diedukasi mengenai pentingnya peran gajah di alam sehingga tidak ada lagi aksi maupun upaya mitigasi yang cenderung merugikan manusia dan gajah.

Ketiganya tentu harus bersinergi untuk mencapai tujuan yang sama: menjaga kelestarian gajah sumatra, menjaga kelestarian ekosistem. Sebab, lestarinya ekosistem pada akhirnya juga untuk kesejahteraan manusia.

Gajah sumatra tidak boleh terjajah di rumah sendiri. Pada akhirnya, Taman Nasional Tesso Nilo hanyalah sepetak cerita dari area-area lain yang juga kondisi hutannya dipertanyakan, lestari habitatnya diabaikan.

Referensi:


[1] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia. 2020. Rencana Tindakan Mendesak Penyelamatan Populasi Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus 2020-2023).
RENCANA TINDAKAN MENDESAK PENYELAMATAN POPULASI GAJAH Sumatra (Elephas maximus sumatranus) 2020-2023
[2] Kompas.com. 2008. BKSDA: Gajah di Hutan Sumbar Sudah Punah.
Gajah di Hutan Sumbar Sudah Punah
[3] Mongabay.co.id. 2012. Deforestasi Melambat, Tapi Hutan Tropis Sumatra Kini Telanjur Musnah.
Deforestasi Melambat, Tapi Hutan Tropis Sumatra Kini Telanjur Musnah - Mongabay.co.id
[4] tntessonilo.menlhk.go.id. Sejarah Kawasan TN. Tesso Nilo.
Sejarah Kawasan TN. Tesso Nilo
[5] riaupos.jawapos.com. 2022. Hutan TNTN Tinggal 16,8 Persen, Setengah Jadi Kebun Sawit.
Hutan TNTN Tinggal 16,8 Persen, Setengah Jadi Kebun Sawit
[6] Yoza, Defri, dkk. 2017. Daya Dukung Habitat Gajah Sumatra (Elephas maximus sumatranus Temminick) di Taman Nasional Tesso Nilo Provinsi Riau.
30-daya-dukung-habitat-defri-yoza-et-al.pdf
[7] Meitasari, Inge, dkk. 2014. Pengaruh Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Kuantitas Air dengan Pendekatan Neraca Air Tanaman (Studi Kasus di PT Rezeki Kencana)
pengaruh perkebunan kelapa sawit terhadap kuantitas air dengan pendekatan neraca air tanaman
[8] Bardun, Yeeri dan Mubarak. 2010. Dampak Industri Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Lingkungan Global.
DAMPAK INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP LINGKUNGAN GLOBAL
[9] Taufiq, Mohammad, dkk. 2013. Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit Terhadap Keseimbangan Air Hutan (Studi Kasus DAS Landak, DAS Kapuas).
pengaruh sawit thd air180-Article Text-359-1-10-20131223.pdf
[10] Fadli, Moh., dkk. 2016. Hukum dan Kebijakan Lingkungan. Malang: UB Press.
Hukum dan Kebijakan Lingkungan
[11] gardaanimalia.com. 2020. Satwa Dilindungi Kerap Mati di Area Konsesi: Perusahaan Harus Bertanggung Jawab!
https://gardaanimalia.com/satwa-dilindungi-kerap-mati-di-area-konsesi-perusahaan-harus-bertanggung-jawab/
[12] Bahtiar, Irfann dkk. 2019. Hutan Kita Bersawit. Jakarta: KEHATI
Bakhtiar dkk. (2019) - Hutan Kita Bersawit.pdf